TATA CARA BERBUSANA
ADAT KE PURA
ADAT KE PURA
Segiring dengan perkembangan zaman yan diikuti oleh tren-tren atau mode yang berkembang di masyarakat. Salah satunya tren berbusana. Begitu pula dengan perkembangan busana adat ke pura yang semakin hari semakin ada perubahan. Pada zaman sekarang ini, kurangnya minat geneasi muda khususnya bagi alangan wanita untuk memakai tata rias rambut model sanggul. Pada umumnya kalangan wanita lebih banyak menata rambutnya dengan membiarkannya terurai (megambahan). Begitu pula dengan yang laki-laki, ketika memakai udeng kebanyakan rambutnya masih acak-acakan. Mode pakian yang mengikuti perkembangan zaman sering kali bertentangan dengan tata cara berpakian.
Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yaitu:
1. Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan (busana adat yang belum lengkap)
2. Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah lengkap)
3. Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah lengkap secara aksesoris)
Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura tersebut.
- Busana Adat ke Pura untuk Putra
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
- Busana adat ke Pura untuk Putri
Gambar Pusung Tagel |
Gambar Pusung Gonjer |
Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang kita mulai dari bawah. Kita rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Nah itulah tahapan-tahapan kita dalam menggunakan busana adat. Dengan mebaca uraian diatas hendaknya kita bisa mewujudkan hal itu. Karena jika kita sudah memahami yang benar dan tidak melaksakannya kita akan berdosa. Dan jika anda tahu salah dan tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar. Dengan memahami busana adat ke pura, setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik.
TERIMA KASIH.